Mudaroh dan Mudahanah

Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir hampir condong sedikit kepada mereka”. (Al Israa:74).

Beberapa kaum telah sesat, mereka menyangka bahwa mudahanah (sikap condong / lunak / cari muka / menjilat. pent) yang diharamkan adalah mudarah (sikap lembut dalam berbicara. pent) yang diperbolehkan, sehingga mereka membuka pintu hazimah (kekalahan) karena kebodohan atau pura pura bodoh, menyangka bahwa yang mereka buka adalah pintu mudaroh syar’iyyah.”
Untuk menjelaskan hal ini maka kami katakan: Bahwa pembahasan mudaroh berbeda dengan pembahasan mudahanah. Mudaroh diperbolehkan sedangkan mudahanah tidak. Mudaroh adalah sikap lembut dalam berbicara di hadapan orang yang tidak sepandapat, sikap halus dan ramah, dan tidak mengandung sikap menyetujui dan mengakui kebatilan atau yang serupa dengannya. Bila terdapat pengakuan atau persetujuan kepada kebatilan, maka perbuatan ini telah berubah menjadi mudahanah. Dalam hadits بئس أخو العشيرة Rosulullah sama sekali tidak menyetujui kebatilan sedikitpun, dan beliaupun tidak melakukan kemaksiatan (dan mustahil beliau melakukannya), akan tetapi hanya untuk mencegah kejelekan dan yang lainnya dengan cara yang masyru’ yang tidak bercampur dengan kemaksiatan. Banyak hadits hadits yang memuji sikap mudaroh kepada manusia, karena terkadang hal tersebut termasuk dari akhlak yang baik.

Perbedaan antara mudaroh dan mudahanah adalah, bahwa mudaroh adalah sikap mengorbankan dunia untuk mendapatkan dunia atau Din atau kedua duanya, dan ini hukumnya mubah dan bisa jadi mustahab. Sedangkan mudahanah adalah sikap meninggalkan Din untuk kepentingan dunia. Dari keterangan diatas , menjadi jelas lah akan kekalahan (hazimah) banyak kaum yang menisbatkan diri mereka kepada Islam sekarang ini ketika mereka ber-mudahanah kepada musuh musuh Allah subhanahu wa ta’ala, menipu diri mereka sendiri, dan menipu manusia dan berkata bahwa hal tersebut adalah mudaroh yang syar’i, padahal itu tidak lain hanyalah kekalahan telak dan mudahanah buta yang menjadikan al haq menjadi kebatilan, dan kebatilan menjadi al haq, mengorbankan Din untuk kepentingan dunia dan kepentingan personal yang hina. Maka nilai kemenangan apa lagi yang masih tersisa setelah kekalahan telak ini.

~Yusuf Al ‘Uyairi RH~

Leave a comment